Budaya Kerja Toksik di Jepang Picu 54 Karyawan Tewas Kelelahan

2 weeks ago 3
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Istilah 'bekerja sampai mati' nampaknya sudah begitu melekat di Jepang. Namun, di tengah krisis populasi, pemerintah ingin melakukan reformasi sistem bekerja di Negeri Sakura dengan mengeluarkan kebijakan kerja maksimal empat hari dalam sepekan.

Budaya 'karoshi' di Jepang adalah alasan di balik banyaknya kematian karena terlalu banyak bekerja. Selain jam kerja terlalu panjang, karyawan Jepang kebanyakan memiliki ikatan terlalu besar dengan pekerjaan mereka, sehingga rela sering lembur.

Sekitar 85 persen pengusaha melaporkan memberi pekerja mereka dua hari libur seminggu dan ada pembatasan hukum mengenai jam lembur, yang dinegosiasikan dengan serikat pekerja dan dirinci dalam kontrak. Namun, beberapa warga Jepang melakukan kerja lembur yang tidak dilaporkan dan dilakukan tanpa kompensasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Jepang memiliki setidaknya 54 kematian akibat terlalu banyak bekerja setiap tahun, termasuk karena serangan jantung. Angkanya bahkan lebih tinggi di periode sebelum 2021, yakni di atas 100 kematian.

Pemerintah Jepang kemudian pertama kali menyatakan dukungan untuk masa kerja lebih pendek dalam sepekan sejak 2021, setelah anggota parlemen mendukung gagasan tersebut. Namun, konsep tersebut lambat diterima.

Sekitar 8 persen perusahaan di Jepang mengizinkan karyawannya untuk mengambil cuti tiga hari atau lebih per minggu, sementara 7 persen memberikan pekerja mereka satu hari libur yang diamanatkan secara hukum, menurut Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan.

Reformasi Budaya Kerja

Pemerintah meluncurkan kampanye reformasi budaya kerja yang mempromosikan jam kerja lebih pendek dan pengaturan fleksibel lain beserta batasan lembur dan cuti tahunan berbayar. Kementerian ketenagakerjaan juga baru-baru ini mulai menawarkan konsultasi gratis, hibah, dan kumpulan kisah sukses yang terus bertambah sebagai motivasi lebih lanjut.

"Dengan mewujudkan masyarakat tempat para pekerja dapat memilih dari berbagai gaya kerja berdasarkan keadaan mereka, kami bertujuan untuk menciptakan siklus pertumbuhan dan distribusi yang baik dan memungkinkan setiap pekerja memiliki pandangan yang lebih baik untuk masa depan," demikian pernyataan situs web kementerian tentang kampanye hatarakikata kaikaku, yang berarti berinovasi dalam cara bekerja.

Departemen yang mengawasi layanan dukungan baru untuk bisnis mengatakan sejauh ini hanya tiga perusahaan yang mengajukan diri untuk meminta saran tentang cara membuat perubahan, peraturan yang relevan, dan subsidi yang tersedia.

Contohnya, dari 63.000 karyawan Panasonic Holdings Corp, yang memenuhi syarat untuk jadwal empat hari di produsen elektronik dan perusahaan grupnya di Jepang, hanya 150 karyawan yang memilih untuk mengambilnya, menurut Yohei Mori, yang mengawasi inisiatif tersebut di satu perusahaan Panasonic.

Dukungan resmi pemerintah terhadap 'work life balance' atau keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik merupakan perubahan nyata di Jepang, negara yang terkenal dengan budaya 'gila kerja' yang konon menjadi penyebab pemulihan nasional dan pertumbuhan ekonomi luar biasa setelah Perang Dunia II.

Tekanan konformis untuk berkorban demi perusahaan sangat kuat. Warga negara biasanya mengambil liburan pada waktu yang sama setiap tahun dengan rekan kerja mereka selama liburan Bon di musim panas dan sekitar Tahun Baru, sehingga rekan kerja tidak dapat menuduh mereka lalai atau tidak peduli.

Tim Craig, penulis buku berjudul 'Cool Japan: Studi Kasus dari Industri Budaya dan Kreatif Jepang' memberikan pendapatnya.

"Pekerjaan adalah hal yang penting di sini. Ini bukan hanya cara untuk menghasilkan uang, meskipun memang seperti itu," kata Craig, yang sebelumnya mengajar di Sekolah Bisnis Doshisha dan mendirikan firma penyuntingan dan penerjemahan BlueSky Academic Services.

"Pandangan di Jepang adalah, kamu keren jika bekerja lebih lama, meski lembur gratis."

NEXT: Manfaat Libur Tiga Hari untuk Warga Jepang

Read Entire Article