Singapura Berlakukan Karantina 3 Minggu Bagi Kontak Dekat Pasien Mpox

2 weeks ago 3
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Singapura bakal mewajibkan karantina selama tiga minggu atau 21 hari bagi kontak dekat pasien mpox atau cacar monyet. Penetapan ini disesuaikan dengan masa inkubasi Mpox yang saat ini juga berlaku di Afrika.

Langkah ini dilakukan dalam upaya mencegah penyebaran lokal dari virus yang bermutasi tersebut dan meningkatnya kekhawatiran terkait clade 1 Mpox.

"Durasinya akan ditetapkan selama 21 hari untuk saat ini, karena itulah masa inkubasi yang kita ketahui, tetapi dimulai dari hari terakhir paparan," ucap Menteri Kesehatan Singapura Ong Ye Kung pada konferensi pers, Rabu (4/9/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemerintah Singapura juga akan menawarkan vaksin Mpox pada kelompok berisiko tinggi terpapar, seperti petugas kesehatan dan kontak dekat dengan kasus yang terkonfirmasi.

Bagi petugas kesehatan yang berisiko tinggi terpapar, seperti mereka yang bekerja di Pusat Penyakit Menular Nasional (NCID), vaksin akan menawarkan perlindungan tambahan, di samping protokol pengendalian infeksi dan penggunaan alat pelindung.

Sementara untuk kontak dekat dengan kasus mpox yang terkonfirmasi, Komite Ahli Imunisasi telah merekomendasikan satu dosis vaksin dalam waktu 14 hari setelah terpapar. Vaksin ini akan diberikan saat mereka menjalani karantina.

Di sisi lain, Ong juga mencatat bahwa dari 100 kasus infeksi Mpox di Republik Demokratik Kongo, sekitar tiga hingga empat orang meninggal, yang menggambarkannya sebagai angka yang cukup tinggi dan mengkhawatirkan. Banyak infeksi dan kematian melibatkan anak-anak di bawah usia 15 tahun.

Meskipun statistik aktual untuk negara-negara maju seperti Singapura mungkin lebih rendah, namun Ong mengatakan negara tersebut perlu memberi perhatian pada kelompok yang lebih rentan seperti orang lanjut usia yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, serta anak-anak.

"Kita tidak seharusnya melakukan tindakan yang sangat keras dan mengganggu seperti yang kita lakukan selama COVID-19. Tidak ada negara yang melakukan itu sekarang," imbuhnya.


(suc/kna)

Read Entire Article